Ibadah merupakan sebuah kata yang amat sering terdengar di kalangan kaum muslimin, bahkan mungkin bisa kita pastikan tidaklah seorang muslim kecuali pernah mendengarnya. Lebih jauh lagi, ibadah merupakan tujuan diciptakannya seluruh jin dan seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu“.(QS : Adz Dzariyat [51] :56). Namun telah tahukah kita bahwa ibadah memiliki syarat agar ibadah tersebut diterima di sisi Allah sebagai amal sholeh dan bukan amal yang salah? Dua syarat dalam ibadah itu adalah [1] berniat ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan [2] ittiba’ (mencontoh) Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam. Untuk itulah mari sejenak kita luangkan beberapa gilintir waktu kita untuk mempelajarinya lewat tulisan singkat ini.
Dalil Dua Syarat Diterimanya Ibadah
Dua syarat ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh para ‘ulama semata-mata berdasar akal mereka melainkan dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus (yang artinya), “Sesunggunya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun“.(QS : Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, ““Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.
Dalil lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amal ibadahnya”.(QS : Al Mulk: 2). Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah seorang Tabi’in yang agung mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (yang artinya) “yang lebih baik amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar (paling mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kemudian beliau rohimahullah mengatakan, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam untuk syarat pertama adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Amirul Mu’minin yang pertama Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu (yang artinya), “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijroh karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pent.)”.[3] Dalil untuk syarat yang kedua adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari jalur Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ‘anha (yang artinya), “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. Dalam redaksi yang lain (yang artinya), “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
Pengertian Ibadah
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Ibadah adalah sebuah kata yang mencakup banyak makna (isim jami’) untuk seluruh perkara yang Allah cintai dan ridhoi baik berupa perkataan, pebuatan secara lahir dan bathin”. Tentu saja ibadah-ibadah tersebut harus disertai adanya rasa perendahan diri seorang hamba kepada Robbnya dan pengagungan yang sebesar-besarnya kepada RobbNya ‘Azza wa Jalla.
Para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu, tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat, puasa, dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya, sebagaimana nanti akan dijelaskan.
Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini, asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena diniatkan untuk ibadah, maka bernilai pahala. Seperti berdagang, jika diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga, bukan semata-mata untuk cari penghidupan, maka nantinya bernilai pahala.
Bagaimanakah Niat yang Ikhlas?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan “Niat adalah maksud yang diinginkan dari amal”[10]. Ditempat yang lain beliau rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin.. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.
An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan, “Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menuggalkan niatmu dalam keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya”.
Dzun Nun rohimahullah mengatakan, “Tanda ikhlas ada tiga, tidak ada bedanya bagi seseorang antara ia dipuji atau dicela seseorang atas amalnya, tidak menghiraukan pandangan manusia atas amalnya dan mengharap pahala dari amal yang ia kerjakan di akhirat”.
Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dalam Beramal adalah Bukti Cinta pada Beliau
Sudah barang tentu seorang muslim cinta pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam nah bukti kalau kita cinta kepada Allah adalah ittiba’/mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi was sallam terutama dalam beramal, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Katakanlah (Wahai Muhammad) jika mereka mencintai Allah maka iktutilah aku (Muhammad) maka Allah akan mencintai kalian”. (QS. Al ‘Imron [3] : 31). Maka di antara konsekwensi dari mencintai Allah dan mengimani kerosulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam adalah mengikuti syari’at beliau yang tercakup di dalamnya ibadah. Bahkan mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan.
Sumber: www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment